Wildy Zhalifunnas   •  

Seperti Musim Kemarau dan Penghujan yang Tak Pernah Pasti


Seperti musim kemarau dan penghujan yang tak pernah pasti, kamu datang lagi.

Terkadang, ada hari di mana kamu duduk di teras dan kita mengobrol berjam-jam seolah kita sudah kenal sangat lama. Kamu bercerita tentang bagian kecil dari hari-harimu, tentang buku-buku yang kamu baca, atau sekedar tentang menemukan kucing lucu di jalan yang kamu beri nama jerry. Pada hari-hari seperti itu, batu di teras yang pernah kamu tinggalkan terasa sangat cocok pada tempatnya.

Lalu ada hari di mana kamu tiba-tiba menghilang dan meninggalkanku dalam kebingungan. Nada dering. Suara yang tak kunjung datang itu, tiba-tiba paling kubenci sekaligus paling kuharapkan untuk berbunyi.


Pagi ini, aku mengirimkanmu pesan. "Mawarku mekar sempurna hari ini, warnanya berbeda dari mekar-mekar sebelumnya !!" Satu jam kemudian, kamu membalas. "Wah, AKU PENGEN LIATTT !! Pasti karena kemarin hujan, ya?"

Respon singkat itu cukup membuatku bersenandung sambil memangkas dahan kering. Aku merasa kebunku adalah tempat paling indah di dunia.

Tapi sore setelah aku mengirim fotonya di pagi hari, ponsel yang kuletakkan di bibir pot tidak kunjung berdering. Tanganku yang kotor dengan tanah, menggantung di udara dan menunggu getarannya. Hening. Pesan itu hanya terbaca. Tidak ada balasan.

Perlahan-lahan, aku mulai melihat diriku sendiri lewat caramu memperlakukanku.

Saat kamu membalas pesanku dengan baik, aku merasa jadi tukang kebun terbaik. Tapi saat kamu mengabaikanku, aku kembali jadi... aku ;; dengan tangan yang kotor oleh tanah dan kuku yang menghitam.

Lalu aku melihatmu. Cara bicaramu, pakaianmu, dan tentunya duniamu yang terdengar begitu luas di lua rkebun ini.

Aku mulai bertanya-tanya.

Jika aku saja bingung dengan sikapmu, mungkin masalahnya bukan di sana. Mungkin masalahnya ada di sini. Di kebun ini.

Pada diriku.

Mungkin aku keliru mengartikan kunjunganmu. Mungkin kamu datang ke sini bukan untuk tinggal, tapi hanya untuk beristirahat. Seperti orang yang mampir ke taman kota. Menikmati bunganya, duduk sebentar di bangkunya, lalu pulang ke rumahmu yang sebenarnya. Aku dengan segala harapanku, hanyalah seorang yang suka merawat kebun dan terlalu bersemangat menunjukkan koleksi mawarnya.

Aku ragu.

Apa aku pantas? Duniaku hanya seluas kebun ini. Aku tahu soal pupuk kandang dan sekam bakar. Aku tidak tahu apa-apa soal duniamu di luar sana.


Udara sore terasa sejuk. Mungkin memang sudah waktunya berhenti menunggu hujan di musim kemarau.

Mungkin itu masalahnya. Kamu adalah angin yang hanya tahu cara singgah, dan aku adalah pohon yang tidak tahu cara pergi.

Dan aku masih ingin bertanya, apakah kamu benar seperti angin-angin yang lainnya? Atau seekor burung pengelana, yang akhirnya memilih dahan ini untuk membangun sarangnya dan menemukan kata pulang di bawah teduhnya pohon yang sama?